Saat ini transformasi kota Jakarta sedang terjadi sangat cepat. Perubahan perilaku masyarakat perkotaan semakin dinamis ditengah isu kemacetan dan jarak tempuh masyarakat komuter yang saat ini masih bekerja di Jakarta. Tingkat kemacetan yang tinggi membuat waktu tempuh semakin lama bagi masyarakat yang saat ini tinggal di daerah penyangga Jakarta. Karenanya kebutuhan jenis properti yang terintegrasi dengan transit oriented development (TOD) menjadi salah satu alternatif hunian bagi masyarakat perkotaan di Jakarta. Dengan tinggal di hunian yang terintegrasi dengan TOD pastinya dapat memangkas waktu tempuh sangat signifikan dan menjadikan lebih produktif.

Konsep apartemen TOD memang dikembangkan untuk hal tersebut, namun dalam perkembangannya Indonesia Property Watch menilai terdapat beberapa pertimbangan yang membuat apartemen-apartemen ini menjadi tidak memberi manfaat terlalu banyak bagi masyarakat terutama bagi masyarakat yang belum memiliki hunian. Pembangunan apartemen TOD harusnya – paling tidak – dapat  mengurangi backlog hunian perkotaan. Namun harga yang ditawarkan saat ini sudah berkisar paling murah Rp 500 jutaan untuk tipe studio terkecil. Dengan harga apartemen seharga Rp 500 jutaan, maka masyarakat bisa membeli bila penghasilannya paling tidak Rp 15 juta/bulan, dan itu bukan lah gaji rata-rata karyawan Jakarta saat ini. Diperkirakan rata-rata penghasilan karyawan perkotaan saat ini hanya sebesar Rp 7 jutaan/bulan. Dengan gaji tersebut maka properti yang dapat dibeli adalah seharga Rp 250 – 300 jutaan. Itu pun relatif masih berat.

Dua atau tiga tahun yang lalu, harga apartemen TOD masih ditawarkan dengan harga Rp 250 – 300 jutaan dan pasar merespon dengan cukup baik. Namun dengan semakin mahalnya apartemen yang ditawarkan maka tujuan untuk mengurangi backlog semakin menjauh. Pasar pembeli end user tidak mampu lagi untuk menjangkau harga tersebut, dan tergantikan dengan pasar investor yang membeli apartemen tersebut untuk kemudian disewakan lagi kepada para penyewa.

Dengan banyaknya BUMN yang masuk ke pengembangan properti TOD, maka keberpihakan BUMN ‘Hadir untuk Negeri’ dipertaruhkan. Porsi untuk apartemen murah harusnya dapat ditingkatkan, karena tidak semata-mata mendulang untung namun ada misi sosial yang harusnya dikedepankan oleh BUMN. Kenaikan harga tanpa disertai dengan kemampuan pasar, membuat mismatch terjadi pada pasar apartemen TOD saat ini. Dan diyakini tingkat penjualan pun akan mengalami penurunan bila proyek-proyek tersebut hanya berhitung keuntungan di atas kertas tanpa melihat kapasitas pasar yang ada. Peran BUMN, BUMD, dan Pemprov DKI harusnya dapat sejalan untuk menjamin ketersediaan bagi masyarakat pekerja menengah sehingga tatanan kota menjadi lebih baik dan produktif.

Indonesia Property Watch

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here